PT KP PRESS | Polemik Sri Mulyani-BPK Soal Dana Bagi Hasil Buat Anies

PT KP PRESS SURABAYA – Polemik pembayaran dana bagi hasil (DBH) dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi DKI Jakarta merambat ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantaran dikaitkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Awalnya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meminta Kementerian Keuangan segera mencarikan kekurangan pembayaran dana bagi hasil untuk pemerintah provinsi yang dipimpinnya. Namun Sri Mulyani menyatakan DBH akan dilunasi setelah ada hasil audit BPK.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna pun keberatan. Dia menjelaskan tak ada kaitannya antara pembayaran DBH dengan hasil pemeriksaan BPK.

“Penting juga untuk ditegaskan di sini bahwa adalah tidak relevan itu menggunakan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai dasar untuk membayar DBH. Tidak ada hubungannya,” kata dia dalam telekonferensi, Senin (11/5/2020).

Pihaknya pun sudah menyurati Sri Mulyani pada 28 April 2020 mengenai persoalan DBH tersebut.

“Tidak ada hubungan antara pembayaran kewajiban Kementerian Keuangan kepada Pemerintah Provinsi DKI atau pemerintah daerah yang mana pun, terkait kurang bayar kewajiban mereka, terkait dana bagi hasil dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, tidak ada hubungannya,” lanjutnya.

Lanjut dia, yang dilakukan oleh institusinya adalah pemeriksaan, sementara yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Keuangan adalah pengelolaan keuangan negara.

“Tidak ada satupun yang kemudian mengatur bahwa pembayaran kewajiban yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan, khususnya pemerintah pusat itu menunggu hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan, khususnya mengenai dana bagi hasil,” tegasnya.

Surat tersebut tertera mengenai Tanggapan Surat Menteri Keuangan Nomor S-305/MK.07/2020 perihal Penyaluran Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Tahun Anggaran 2019 Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019.

Berikut isi surat Kepala BPK kepada Menteri Keuangan:

Menjawab surat Saudara dengan nomor dan perihal sebagai tersebut di atas, perlu kiranya kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1. Definisi Dana Bagi Hasil (DBH) menurut Angka 20, Pasal I Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa “DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.” Dalam Pasal 11 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tersebut, diatur sumber dan proporsi pembagian DBII antara Pemerintah Pusat dengan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang seharusnya disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun berjalan.

2. Alokasi Dana Bagi Hasil tahun 2019 sebagaimana ditetapkan Perpres No. 129 Tahun 2018 tentang Rincian APBN Tahun 2019 menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Oleh karena itu, penundaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat (dalam hal ini Kementerian Keuangan) akan menyebabkan mismatch antara Pendapatan dan Belanja dalam APBD dalam jumlah yang signifikan

3. Adanya Utang DBH di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (1.KPP) selama ini, secara tidak langsung merupakan pernyataan bahwa Pemerintah Pusat menggunakan DBH tersebut sebagai sumber pembiayaan spontan (spontaneous financing) untuk kepentingan Pemerintah Pusat. Meskipun, kebijakan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan ayat (5) Pasal 11 Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2019 terkait prioritas penyelesaian kurang bayar DBII sampai dengan Tahun Anggaran 2018.

4. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Covid-19 terjadi di Tahun 2020 sehingga seharusnya hanya akan berdampak bagi pelaksanaan Anggaran Tahun 2020. Apalagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tidak mengubah pasal 11 sampai dengan pasal 24 terkait DBH pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Oleh karena itu, pelaksanaan alokasi DBH tahun 2019 seharusnya disalurkan dengan menggunakan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk Tahun Anggaran yang sama.

5. Penggunaan penyelesaian LHP BPK atas LKPP tahun 2019 sebagai alat ukur untuk melakukan pembayaran tidak relevan dalam konstruksi pelaksanaan APBN secara keseluruhan, dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak pemah secara spesifik melakukan pemeriksaan yang secara khusus dibuat untuk Pemeriksaan Penerimaan Negara. BPK hanya memasukkan pengujian atas penerimaan negara sebagai bagian dari pemeriksaan atas LKPP. Dengan demikian, prosedur yang dilakukan adalah dengan melakukan uji petik untuk menguji kewajaran dari nilai penyajian Penerimaan Negara;

b. Penerimaan Negara yang dibagihasilkan per daerah penghasil tidak diasersikan pada LKPP

c. Berdasarkan PMK 139/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Otonomi Khusus. alokasi kurang/lebih bayar DBH dilaksanakan paling lama satu bulan setelah LHP LKPP diterbitkan BPK. Alokasi tersebut berdasarkan data realisasi penerimaan per daerah penghasil pada kementerian teknis atau unit terkait.

d. Berdasarkan pasal 28 PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, alokasi DBH Migas dihitung berdasarkan data realisasi lifting migas pada Direktorat Jenderal Anggaran, dan bukan berdasarkan realisasi PNBP Migas yang disajikan pada LKPP (Audited).

e. Dalam catatan kami, selama 10 tahun terakhir BPK tidak pernah melakukan koreksi atas pendapatan negara dalam APBN, karena Pendapatan Negara dalam APBN menggunakan basis kas sehingga jumlah uang masuk selalu mudah diukur dengan tepat.

Dari penjelasan di atas, Kementerian Keuangan sesungguhnya dapat menggunakan realisasi penerimaan pada LKPP 2019 Unaudited sebagai dasar perhitungan alokasi pembayaran DBH dengan tetap mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian disampaikan atas perhatian Saudara diucapkan terima kasih.

Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo pun merespons hal tersebut. Pihaknya tak mau berpolemik dengan BPK.

“Sebenarnya Kemenkeu pun tidak merasa perlu berpolemik dengan BPK karena memang soal DBH ini tidak ada kaitan secara kelembagaan dengan institusi BPK. Tidak perlu persetujuan BPK terhadap pembayaran DBH ke Daerah,” kata dia kepada detikcom, Senin (11/5/2020).

Dia menjelaskan, yang ingin disampaikan oleh Sri Mulyani yaitu untuk pembayaran DBH kurang bayar dalam praktiknya didasarkan pada LKPP audited (telah selesai diaudit BPK), sehingga angkanya menjadi pasti.

Hal di atas diharapkan bisa menciptakan tata kelola (governance) yang lebih baik, tidak perlu penyesuaian lagi apabila ada perbedaan atau perubahan angka.

“Jadi perlu kami tegaskan, ini tidak ada kaitan kelembagaan apalagi membebankan pembayaran pada kinerja BPK,” ujarnya.

Terkait surat yang dikirimkan Ketua BPK kepada Sri Mulyani untuk dapat melakukan pembayaran DBH kurang bayar, menurutnya akan sangat dipertimbangkan oleh Kemenkeu.

Kebijakan yang diambil Sri Mulyani, lanjut dia didasari atas pertimbangan untuk mendorong pemda melakukan refocusing atau realokasi anggaran dan mengalokasikan Belanja Tidak Terduga (BTT) untuk menangani COVID-19.

“Pusat akan bekerja sama, berkoordinasi dan mendukung upaya pemda untuk bersama-sama menangani pandemi dengan baik,” tambahnya. PT KP PRESS

 

Baca juga artikel lainnya

1. Bitcoin ‘Bikin Sakit’, Lebih Baik Pilih Emas | PT KP PRESS

2. Investasi Emas Tetap Menggiurkan Sampai Kuartal Pertama 2018 | PT KP PRESS

3. Investasi Masih Menarik Tahun 2018 | PT KP PRESS

4. Menengok Prospek Bisnis Investasi di Tahun Politik | PT KP PRESS

5. Tahun 2018, Bisnis investasi Dinilai Tetap Menarik | PT KP PRESS

6. 2018 Emas dan Dolar Pilihan Menarik untuk Investasi Berjangka | PT KP PRESS

7. KPF: Bisnis Investasi Masih Menarik pada 2018 | PT KP PRESS

detik.com

Leave a comment